Search This Blog

Monday, June 25, 2012

Kecerdasan Intelektual vs Kecerdasan Emosi

Ada sebuah cerita tentang perbedaan pemahaman tentang tipologi kecerdasan yang dijelaskan dengan lugas dalam sebuah buku best seller. Seorang Ibu kepala sekolah menengah sedang membacakan nama-nama siswa yang tergolong pintar dalam yudisium di sekolahnya. Seorang siswa tiba-tiba bertanya, “Ibu siapakah yang lebih pintar, Albert Enstein atau Mike Tyson? Rudi Hartono atau B.J Habibie?”. Kepala sekolah itu tidak saja kaget, tetapi juga marah. Dengan suara tegas dan berapi-api, ia berkata di depan pengeras suara, “Mana mungkin Mike Tyson yang kerjanya hanya memukul orang dibandingkan dengan Enstein yang menemukan hukum relativitas. Apalagi membandingkan Rudy Hartono dengan B.J. Habibie”, lanjutnya. Penjelasan sederhananya seperti ini, mana yang lebih diperlukan ketika seseorang mengalami kecelakaan dengan cedera berat dikepalanya : seorang perawat lulusan akademi perawatan ataukah seorang guru besar dan pakar ekonomi lulusan universitas luat negeri ? (Taufiq Pasiak, 2002).
Kasus yang merupakan kisah nyata yang sering kita lihat di lingkungan pendidikan nasional di daerah-daerah ini, yang sering kita simak dimedia cetak ataupun elektronik membuka mata banyak orang tentang kecerdasan. Apakah yang cerdas itu hanyalah mereka yang pintar matematika dan bahasa ? fakta di lapangan menunjukan bahwa orang yang kecerdasan intelektualnya (IQ) di atas banyak yang kemudian menganggur, sementara orang yang piawai berolahraga justru sebagian dari merekalah yang kemudian menjadi orang sukses dalam pekerjaannya. Yang memiliki kecerdasan intelektual biasa saja, tergolong lebih mudah bergaul, penolong sesama, bertanggung jawab, ramah dan sebagainnya. Namun yang kecerdasan intelektualnya tinggi cenderung kurang pandai bergaul dan egois. Arus globalisasi dan kemajuan teknologi mencapai perkembangan menakjubkan pada abad XXI ini. Hasilnya, beragam budaya dan tata nilai menyebar cepat hanya dalam hitungan detik melalui media televisi, internet, dan lain sebagainya. Terjadilah perubahan sikap dimasyarakat sebagai konsekuensi kemajuan zaman.
Paradigma kecerdasan modern secara bertahap mengalami perubahan yang sangat menggembirakan. Di awal abad XX ditemukan konsep kecerdasan intelektual (IQ) yaitu kecerdasan seseorang bisa dilihat dari hasil tes atau dikenal dengan istilah School Aptitude Tes (SAT) dan menghasilkan kesimpulan bahwa tinggi rendahnya kecerdasan intelektual sangat menentukan cerah buramnya masa depan seseorang. Intelligence Quotient yang seratus tahun lalu diperkenalkan oleh William Stern telah menyita perhatian yang tidak kecil. Kecerdasan hanya diukur dalam skor-skor tertentu. Kecerdasan intelektual bahkan menjadi sesuatu yang takuti oleh anak-anak yang memimpikan masa depan indah. Yang lebih tragis, kecerdasan intelektual menghilangkan kesempatan bagi mereka yang memiliki kecerdasan intelektual rendah, tetapi dengan kecerdasan lain yang dominan.
Namun paradigma ini nampaknya harus tergeser ketika fakta menunjukan bahwa kecerdasan intelektual tinggi ternyata bukan jaminan bahwa seseorang dapat bertindak secara cerdas. Terbukti, kasus korpsi, tindakan amoral, yang melanda daerah ini sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi. Kemudian ketika manusia menyadari bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi namun seringkali tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya, muncullah pertanyaan, adakah bentuk kecerdasan lain yang berpengaruh dalam menentukan kesuksesan hidup manusia ? dan ketika manusia menyadari bahwa kesuksesan seseorang tergantung pada bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi persoalan hidupnya, muncullah sebuah keyakinan bahwa kepiawaian seseorang dalam mengatur emosinya, berempati, beradaptasi dan menemukan cara untuk menciptakan suatu kondisi yang mendukung bagi dirinya untuk memudahkannya mengatasi persoalan adalah suatu bentuk kecerdasan pula. Kecerdasan inilah yang kemudian disebut dengan kecerdasan emosi (EQ).
Kecerdasan emosi yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman ini menyita perhatian kita tentang kecerdasan lain yang dimiliki manusia. Paradigma kecerdasan intelektual sangat merugikan manusia karena hanya sedikit manusia yang memiliki IQ tinggi. Menurut berbagai penelitian, kecerdasan intelektual hanya berperan dalam kehidupan manusia sekitar 20 %, bahkan hanya 6 % menurut Steven. J. Stein, ph. D dan Howard. E. Book, M. D.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan diri untuk mendeteksi emosi diri sendiri dan orang lain. Emosi mempunyai peranan penting dalam keberhasilan hidup manusia. Manusia perlu mengelola emosinya yang berupa perasaan takut, malas, tidak percaya diri, dan merubahnya menjadi berani, rajin dan percaya diri dalam menghadapi hidup ini. Seseorang harus mampu mengembangkan kecerdasan emosi dalam bertenggangrasa, berempati, jujur, tegas, dan lainnya. Semua itu berhubungan dengan kemampuan mengenali dan mengelola emosi. Inilah peran kecerdasan emosi. (EQ) (Khairul Ummah dkk, 2003).
Belum selesai kita membicarakan tentang kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, kembali kita tersentak dengan penemuan baru tentang kecerdaasan lainnya, Spiritual Quotient (SQ). Kecerdasan spiritual yang dimaksudkan oleh penemunya Ian Marshall dan Danar Zohar ini, melengkapi kecerdasan yang sudah dipelopori oleh generasi sebelumnya.
Kecerdasan spritual yang dimaksud oleh suami – isteri ini adalah kecerdasan menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan hidup kita lebih berarti dan bukan hanya sekedar mempunyai kecerdasan Intelektual tinggi dan emosi yang baik, tetapi juga bisa memberikan arti dan jalan hidup seseorang itu lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. (Danar Zohar dan Ian Marshall, 2002)
Dalam kaitan ini, menurut ahli Neuropsikolog Michael Persinger ditahun 1990-an dan yang lebih baru temuan neurolog V.S Ramachandran bersama timnya dari Universitas California mengenai adanya “titik Tuhan” (God Spot) dalam otak manusia. Melalui pengamatan terhadap otak dengan menggunakan Topografi Emisi Positron, area otak akan bersinar apabila subjek penelitian diarahkan untuk mendiskusian topik spiritual.  Bukti kedua adalah riset yang ahli syaraf Austria, Wolf Singer pada era 1990-an atas The Binding Program, yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha menyatukan dan memberi makna hidup. Suatu jaringan syaraf yang secara literal “mengikat” pengalaman kita secara bersama untuk “memaknai hidup ini”. Pada god spot inilah sebenarnya ditemukan fitrah manusia yang terdalam.
Di Indonesia, terutama kampus negeri tidak ditekankan pada ajaran keagamaan. Para tokoh pendidikan di Indonesia juga belum bisa mengubah sistem pendidikan  ke arah pendidikan akhlaq. Selama ini hanya pendidikan keilmuan saja. Tidak heran kemudian banyak para intelektual yang korupsi. Di sini, nilai moralitas keagamaan memainkan peranan penting.
Pendidikan agama Islam seharusnya memberikan kontribusi yang jelas tentang makna hidup, tetapi pelajaran agama Islam sekarang hanya dipahami sekedar ajaran ‘Fiqih’ semata. Contohnya saja waktu penulis masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah, mata pelajaran fiqih wajib dihapal. Misalnya  menghapal rukun iman, rukun Islam, tanpa dimaknai isinya, untuk apa kita shalat, apa fungsi shalat, mengapa harus mengambil air wudhu dulu sebelum shalat, dan sebagainya. Dampak “kegagalan” pendidikan yang demikian  itu kini sudah  sangat kita rasakan. Pengangguran terus meningkat, moralitas bangsa kian menurun, sikap saling menghargai sesama anak bangsa juga semakin menurun. Bangsa ini kian dibanjiri manusia-manusia yang hanya mementingkan diri sendiri dan manusia-manusia yang penuh kepura-puraan. Di sinilah diperlukan implikasi kecerdasan spiritual dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan kita saat ini.

0 comments:

Post a Comment