Makin Terjepit Makin Melejit
Mengapa sampai kini Albert Einstein dianggap sebagai orang yang paling jenius di dunia? Bukankah banyak orang yang memiliki IQ lebih tinggi dari Einstein? Akan saya ceritakan suatu kisah (sebut saja behind the history) yang mungkin bisa menjawabnya.
.
Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel saya yang berjudul "Mengapa pohon kelapa banyak tumbuh di pantai?". Dari cerita ini kita akan belajar bagaimana mengubah situasi terjepit menjadi melejit dan mengubah "batu sandungan" menjadi "batu loncatan" untuk dapat melejit lebih tinggi.
Seperti yang saya janjikan diakhir artikel yang lalu, bahwa saya akan bercerita tentang tokoh Albert Einstein.
Pada saat Albert Einstein baru menemukan teori relativitas, beliau bekeliling dari satu universitas ke universitas lainnya untuk mempresentasikan rumus relativitas E=mc2 yang ditemukannya. Setiap kali pergi presentasi, beliau selalu didampingi oleh seorang supir yang hanya lulusan setingkat sekolah dasar.
Setiap kali Einstein melakukan presentasi, sang supir ini selalu memperhatikannya walau pun tidak mengerti materi apa yang dipresentasikan. Maka setelah puluhan kali melihat presentasi, sang supir menjadi hafal dengan semua materi yang dipresentasikan walau pun dia tidak mengerti artinya.
Pada suatu saat, Einstein merasa lelah sekali setelah melakukan beberapa kali presentasi sekaligus. Di tengah perjalanan menuju universitas yang terakhir, tubuh ringkihnya tidak sanggup menahan keletihan.
Einstein merasakan bahwa dia dapat saja sewaktu-waktu pingsan kelelahan ditengah-tengah acara presentasi terakhir nanti. Dia mengeluhkan hal ini kepada supirnya. Sang supir yang memahami keadaan majikannya menawarkan suatu bantuan.
Katanya, "Bukankah orang-orang di sana belum mengenal wajah Pak Einstein?" (karena saat itu Einstein belum terkenal seperti sekarang)
"Saya telah hafal semua materi yang Bapak sering presentasikan. Walau pun saya sama sekali tidak mengerti artinya."
"Kalau saya mengaku sebagai Pak Einstein, tidak akan ada orang lain di sana yang mengetahuinya", kata si supir.
"Pak Einstein, bagaimana kalau saya membantu menggantikan Bapak untuk presentasi di universitas terakhir ini?", kata si supir.
"Memangnya kau yakin bisa?", tanya Einstein.
"Saya yakin Pak! Dan hal ini akan lebih baik dari pada kemungkinan Bapak gagal presentasi karena pingsan", jawab sang supir.
"Bagus juga usul mu itu. Saya setuju!", jawab Einstein setelah berpikir sebentar.
Universitas yang terakhir yang akan dikunjungi adalah Syracuse University di New York. Universitas yang terkenal memiliki banyak pakar jenius matematika.
Akhirnya, sesaat sebelum sampai di universitas tersebut mereka bertukar posisi. Einstein menyamar menjadi supir dan sang supir menyamar menjadi Einstein.
Sesampainya di universitas, sang supir yang dikira Einstein disambut dengan tepuk tangan meriah dan duduk di kursi VIP. Sementara Einstein asli yang dikira supir duduk di bagian belakang penonton sambil beristirahat.
Tiba saatnya presentasi, sang supir naik ke panggung dengan percaya diri dan mulai mempresentasikan teori relativitas. Einstein beristirahat sambil mengamati dengan tegang dari kursi belakang. "Benarkah supir saya telah hafal dengan semua rumus yang biasa saya presentasikan?", tanyanya dalam hati.
Sang supir menulis di papan tulis persis seperti Einstein menulis dan berbicara dengan gaya mirip Einstein. Rupanya sang supir telah hafal dengan materi yang biasa Einstein presentasikan di universitas-universitas sebelumnya. Hal ini karena sudah puluhan kali sang supir mengamatinya walau pun tidak mengerti artinya. Einstein pun mengangguk-angguk dan merasa kagum pada sang supir.
Selesai presentasi, tepuk tangan membahana dari para penonton. Dan sang supir pun turun dari panggung dengan hati merasa lega.
Sesaat kemudian moderator berkata, "Maaf, Pak Einstein. Silahkan naik lagi ke atas panggung."
"Ada yang mau bertanya?", teriaknya kepada para penonton.
Sang supir terkejut, karena biasanya setelah Einstein selesai melakukan presentasi langsung turun dari panggung disertai ditepuk-tangan dan acara presentasi pun selesai. Sambil merasa was-was dia berdoa dalam hati, "Mudah-mudahan tidak ada penonton yang bertanya karena sudah jelas dengan apa yang dipresentasikan".
Tiba-tiba seorang pria berdiri dan berkata, "Saya tidak mau bertanya."
"Saya selamat....", kata supir dalam hati.
"Saya hanya ingin menyanggah! Rumus matematika yang dipresentasikan tadi salah!", seru pria tersebut.
"Celaka...!", kata supir dalam hati.
"Saya mana mengerti tentang rumus matematika?", jeritnya dalam hati.
"Silahkan dijelaskan, Pak Einstein", kata moderator.
Dalam keadaan terjepit sang supir berpikir mencari satu jalan keluar. Akhirnya dia berbicara kembali.
"Siapakah Bapak?", tanya sang supir.
"Saya Profesor George, Pakar Matematika di universitas ini", jawabnya.
"Celaka tiga belas!", jerit sang supir dalam hati.
Tadinya dia berpikir, jika yang bertanya adalah mahasiswa maka sang supir akan menjawab, "Silahkan bertanya saja pada dosen matematika anda".
Dan jika yang bertanya ternyata adalah dosen, maka dia akan menjawab "Silahkan bertanya saja pada Profesor Matematika anda".
Tapi ternyata yang bertanya adalah Profesornya. Akan bertanya kepada siapa?
Keadaan sang supir makin terjepit. Tetapi sang supir tidak kekurangan akal. Dia selalu mencari satu jalan keluar.
"Pak George adalah Profesor Matematika di universitas yang terkenal dengan para pakar matematikanya ini..?!", serunya dengan mimik wajah terheran-heran.
"Hemmm...."
"Sunggung memalukan!"
"Masak... rumus matematika sederhana seperti ini saja tidak paham?"
"Lha..! Supir saya saja paham kok!"
"Maju, Pir! Terangin nih pada profesor...", katanya sambil melambaikan tangan kepada Einstein yang sedang duduk istirahat di kursi belakang.
Majulah Einstein yang dikira supir menuju ke panggung dan menerangkan rumus tersebut dengan sejelas-jelasnya.
Semakin terkagumg-kagumlah para penonton terhadap Einstein. Ternyata, supirnya saja bisa diajari oleh Einstein menjadi lebih pintar dari pada profesor. Apalagi sang Einsteinnya?
Itulah sebabnya mengapa Einstein sampai saat ini dianggap orang yang paling jenius di dunia.
0 comments:
Post a Comment