Tulisan ini saya buat karena beberapa
waktu yang lalu saya dan beberapa teman melakukan perjalanan yang cukup
memakan waktu namun bingung dalam menentukan shalat, apakah perlu di
jama’ atau dilaksanakan seperti biasa.
Shalat Jama’
Yang dimaksud dengan sholat jama’ adalah
menggabungkan 2 sholat dalam 1 waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur
dan shalat Ashar di waktu Dzuhur yang dinamakan Jama’ Taqdim, atau
melakukannya di waktu Ashar yang dinamakan Jama’ Takhir. Dan
melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib
atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Shalat yang boleh dijama’ adalah semua
shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada
waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Shalat jama’ merupakan keringanan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala,
menjama’ shalat tidak hanya untuk musafir, tetapi boleh juga dilakukan
orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang
menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan
demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu
Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya` di Madinah, bukan karena ada ketakutan dan bukan pula karena hujan.” (HR. Muslim no. 1151)
Lalu Waki’ bin Al-Jarrah bertanya kepada
Ibnu Abbas mengenai sebabnya, maka beliau menjawab, “Beliau ingin supaya
tidak memberatkan umatnya.”
Hadits di atas jelas menunjukkan bolehnya menjamak shalat walaupun tidak ada udzur.
Hadits di atas jelas menunjukkan bolehnya menjamak shalat walaupun tidak ada udzur.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini dengan mengatakan,
“Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa
rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’
shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat
karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam
hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’.
Ada 2 jenis sholat jama’, yakni:
1. Jama’ Taqdim (ada juga yg menuliskan ta’dim, takdim, dst)
Jama’ taqdim adalah ‘menarik’ lebih awal waktu sholat. Jadi, apabila kita hendak bepergian yg kira2 cukup jauh di waktu Dhuhur, usai sholat Dhuhur kita lanjutkan dengan sholat Ashar. Hal yang sama berlaku untuk sholat Isya’, yang dilakukan di saat Magrib.
1. Jama’ Taqdim (ada juga yg menuliskan ta’dim, takdim, dst)
Jama’ taqdim adalah ‘menarik’ lebih awal waktu sholat. Jadi, apabila kita hendak bepergian yg kira2 cukup jauh di waktu Dhuhur, usai sholat Dhuhur kita lanjutkan dengan sholat Ashar. Hal yang sama berlaku untuk sholat Isya’, yang dilakukan di saat Magrib.
Yang tidak diperbolehkan dijama’ taqdim
adalah Dhuhur di waktu Subuh, ataupun Magrib di waktu Ashar. Selain itu
tidak boleh menjama’ Ashar dg sholat Jum’at (di hari Jum’at).
Untuk melaksanakan sholat jama’ taqdim, maka ada hal-hal yg mesti diperhatikan:
a. Kerjakan dulu sholat Dhuhur baru Ashar (atau Magrib dulu baru Isya).
b. Niat jama’ dilakukan saat hendak sholat Dhuhur atau Magrib. Dengan demikian, tidak sah jika niat jama’ dilakukan saat sholat Ashar atau Isya.
c. Dilakukan ‘menyambung’, dalam artian, tidak melakukan sholat sunnah setelah sholat Dhuhur atau Magrib.
a. Kerjakan dulu sholat Dhuhur baru Ashar (atau Magrib dulu baru Isya).
b. Niat jama’ dilakukan saat hendak sholat Dhuhur atau Magrib. Dengan demikian, tidak sah jika niat jama’ dilakukan saat sholat Ashar atau Isya.
c. Dilakukan ‘menyambung’, dalam artian, tidak melakukan sholat sunnah setelah sholat Dhuhur atau Magrib.
2. Jama’ Takhir (ada juga yg menulis ta’hir, taqhir, dst)
Jama’ takhir kebalikan dari poin 1. Dengan demikian, kita ‘mengulur’ sholat di waktu berikutnya. Berdasarkan poin 1, maka kita bisa simpulkan bahwa jama’ takhir itu berarti sholat Dhuhur & Ashar di waktu Ashar, dan sholat Maghrib & Isya di waktu Isya.
Jama’ takhir kebalikan dari poin 1. Dengan demikian, kita ‘mengulur’ sholat di waktu berikutnya. Berdasarkan poin 1, maka kita bisa simpulkan bahwa jama’ takhir itu berarti sholat Dhuhur & Ashar di waktu Ashar, dan sholat Maghrib & Isya di waktu Isya.
Hal yg tidak diperbolehkan adalah Isya di saat Subuh dan Ashar di saat Maghrib.
Untuk melaksanakan sholat jama’ takhir, maka ada hal-hal yg mesti diperhatikan:
a. Niat jama’ tetap dilakukan di saat sholat Dhuhur atau Magrib.
b. Kita masih berada dalam perjalanan pada saat Ashar atau Isya.
a. Niat jama’ tetap dilakukan di saat sholat Dhuhur atau Magrib.
b. Kita masih berada dalam perjalanan pada saat Ashar atau Isya.
Khusus untuk sholat jama’ takhir, kita
mesti mendahulukan waktu sholat yg terakhir. Sebagai contoh, jika kita
jama’ takhir Dhuhur dan Ashar, maka kita sholat Ashar dahulu barulah
sholat Dhuhur.
Tata cara sholat jama’ sama dengan sholat biasa.
Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim
diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai
dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah (
langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada
waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar,
setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu
kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya
dengan cara berturut-turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Syarat-syarat Shalat Jama’
Pada hadits di atas sudah jelas bahwa shalat jama’ dibagi pada dua bagian yaitu jama’ taqdim dan jama takhir. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan ketika akan menjelaskan shalat jama’, baik itu jama taqdim maupun jama’ takhir.
Adapun syarat jama’ taqdim berdasarkan sebagian ulama ada tiga:13
a. Niat jama’ pada shalat yang pertama sekalipun dalam prakteknya akan dipisahkan dengan salam.
b. Tertib, maksudnya hendak dimulai dengan sembahyang yang pertama (dzuhur sebelum ashar, maghrib sebelum isya’).
c. Muawalah dalam penilaian umum. Dalam hal ini, tidak mengapalah bila shalat yang dijama’ itu terpisahkan sejenak, tidak cukup melakukan shalat dua raka’at. Akan tetapi yang lebih utama berturut-turut seolah-olah satu sembahyang.
Sedangkan syarat jama’ takhir adalah sebagai berikut:14
a. Niat jama’ pada waktu shalat yang pertama.
b. Masih dalam bepergian hingga selesai shalat yang kedua.
Tata Cara Shalat Jama’Pada hadits di atas sudah jelas bahwa shalat jama’ dibagi pada dua bagian yaitu jama’ taqdim dan jama takhir. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan ketika akan menjelaskan shalat jama’, baik itu jama taqdim maupun jama’ takhir.
Adapun syarat jama’ taqdim berdasarkan sebagian ulama ada tiga:13
a. Niat jama’ pada shalat yang pertama sekalipun dalam prakteknya akan dipisahkan dengan salam.
b. Tertib, maksudnya hendak dimulai dengan sembahyang yang pertama (dzuhur sebelum ashar, maghrib sebelum isya’).
c. Muawalah dalam penilaian umum. Dalam hal ini, tidak mengapalah bila shalat yang dijama’ itu terpisahkan sejenak, tidak cukup melakukan shalat dua raka’at. Akan tetapi yang lebih utama berturut-turut seolah-olah satu sembahyang.
Sedangkan syarat jama’ takhir adalah sebagai berikut:14
a. Niat jama’ pada waktu shalat yang pertama.
b. Masih dalam bepergian hingga selesai shalat yang kedua.
a. Cara mengerjakan shalat jama’ taqdim
Bila seseorang hendak shalat dzuhur dan ashar pada waktu dzuhur (jama’ taqdim) kerjakanlah shalat dzuhur, lalu disambung dengan shalat ashar sampai selesai. Niat shalat ashar yang dijama’ taqdim dengan shalat dzuhur dikerjakan waktu dzuhur:
اصلى فرضى الظهر اربع ركعات مجموعا بالعصر جمع تقديم لله تعالى
“Saya tunaikan shalat fardu dzuhur empat rakaat, dijama’ taqdim dengan shalat ashar karena Allah Ta’ala”.
b. Cara mengerjakan shalat jama’ takhir
Bila seseorang hendak shalat maghrib dan isya pada waktu isya (jama’ takhir) kerjakanlah shalat isya sampai sama terus sambung dengan shalat maghrib sampai selesai. Dan pada waktu shalat yang pertama harus dilakukan niat untuk mengerjakan shalat pada waktu yang kedua. Adapun niatnya sebagai berikut:
b. Cara mengerjakan shalat jama’ takhir
Bila seseorang hendak shalat maghrib dan isya pada waktu isya (jama’ takhir) kerjakanlah shalat isya sampai sama terus sambung dengan shalat maghrib sampai selesai. Dan pada waktu shalat yang pertama harus dilakukan niat untuk mengerjakan shalat pada waktu yang kedua. Adapun niatnya sebagai berikut:
اصلى فرض العشاء اربع ركعات مجموعا باالمغرب جمع تاخير لله تعالى
“Saya tunaikan shalat fardhu isya empat rakaat dijama’ takhir dengan maghrib, karena Allah Ta’ala”.
Shalat Qashar
Yang dimaksud dengan sholat qashar
adalah menyingkat sholat. Sholat yang bisa disingkat hanya sholat
dengan jumlah raka’at 4, yakni Dhuhur, Ashar, dan Isya. Sementara
Magrib, terlebih lagi Subuh, tidak bisa disingkat.
Shalat Qashar yaitu meringkas shalat yang
empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan
Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala untuk musafir, sebagaimana firman-Nya,
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101)
Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah subhanahu wata’ala yang disuruh oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Mengqashar shalat hanya boleh dilakukan
oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Seorang musafir baru boleh
memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar
dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan,
“Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”
Dan Anas menambahkan,
“Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat” (HR.Bukhari Muslim)
Ketika seorang musafir yang mengqashar shalatnya, ia tidak mesti
harus menjama’ shalatnya, begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia
mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat
Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan
seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam
perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke
Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak
menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’, seorang musafir yang sudah
menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh
mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka
ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan
menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum
menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa
kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Ketika penaklukkan
kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika
perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu
Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir.
Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir
boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak
musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim.
Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti
imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia
menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum
menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib
(shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir
dan Tahajjud, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam selalu
melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga
shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul
Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Untuk melakukan sholat Qashar, maka kita mesti berniat untuk sholat
Qashar. Karena disingkat menjadi 2 raka’at, maka perlakuannya serupa
dengan sholat Shubuh.
empat rakaat dijama’ takhir dengan maghrib, karena Allah Ta’ala”.
Syarat-Syarat Shalat Qashar
Dalam shalat qashar ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan sehingga shalat ini bisa dilakukan.
a. Orang yang sedang bepergian atau merantau dan perjalanan yang dilakukan bukan ma’siat (terlarang). Sebagaimana disebutkan dalam hadits Tsumamah bin syarahbil:
خرجت إلى الن عمر فقلت: ماصلاة المسفر؟ فقال: ركعتين ركعبين الا صلاة المغرب ثلاثا – رواه احمد
“Saya pernah pergi ke tempat Ibnu Umar, saya bertanya kepadanya:
bagaimanakah shalatnya musafir? Jawabnya: “Dua rakaat-dua rakaat kecuali
shalat maghrib, tiga rakaat” (HR. Ahmad).6
b. Perjalanannya jak jaurah. Tentang berapa (meter/kilo/mil) jarak tempuh yang membolehkanmengqashar shalat dapat dilihat pada hadits di bawah ini.7
قال انس: مليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم الظهر
بلمدينة اربعا وصلت معه العصر بذالحليفة ركعتين (رواه مسلم). قال أنس رضى
الله عنه: كان رسول الله اذ خرد مسبرة ثلاثة اميال او ثلاثة فراسخ على
ركعتين – رواه مسلم
“Anas r.a berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah di Madinah
empat rakaat (sebelum safar) dan aku shalat ashar bersama beliau di
Dzulhulaifah dua rakaat” (HR. Muslim).
“Anas r.a berkata: “Rasulullah SAW., apabila melakukan perjalanan tiga mill atau tiga farsakh, shalat dua rakaat” (HR. Muslim).
“Anas r.a berkata: “Rasulullah SAW., apabila melakukan perjalanan tiga mill atau tiga farsakh, shalat dua rakaat” (HR. Muslim).
Dari kedua hadits di atas dapat kita ketahui bahwa jarak perjalanannya
minimal tiga mil atau tiga farsakh. Satu mil + 1.748 m. Jarak antara
Madinah dan Dzulhulaifah + 6 mil. Sedangkan satu farsakh + 8 km atau
4,57 mil, atau jarak perjalanan itu lebih dari satu hari satu malam.
Akan tetapi yang kita dapati pada buku pelajaran fiqih dari mazhab
Syafi’i ditulis bahwa jarak beperbian yang dibenarkan untuk mengqashar
shalat adalah delapan puluh mil atau + seratus dua puluh kilometer. Dan
inilah yang banyak diikuti oleh sebagian umat Islam di negeri kita.
Karena yang ditetapkan oleh Rasulullah adalah tiga mil ke atas, maka
yang lebih utama kita ikuti adalah ketetapan Rasulullah SAW ini.
قال أنس رضى الله عنه: خرجنا مع النبي صلى الله عليه
وسلم من المدينة إلى المكة فصلى ركعتين حتى رجعنا الى المدينة, فقلت اقمتم
بها شيأ؟ اقمنا بها عشرا – رواه البخارى
“Anas r.a berkata kami keluar bersama Nabi dari Madinah ke
Mekkah. Beliau shalat dua rakaat sehingga kami kembali ke Madinah. Maka
aku bertanya, “Apakah kalian bermukim di Mekkah? Jawabnya: kami bermukin
di Mekkah selama sepuluh hari” (HR. Bukhari).
Hal yang serupa batas lamanya mengqashar shalat tidak ditentukan itu dapat kita lihat dari hadits Tsumamah Ibnu Syarahir yang diriwayatkan oleh Ahmad, ia berkata: “saya menemui Ibnu Umar, lalu saya bertanya “Apakah shalat musafir itu”? ia menjawab dua rakaat-dua rakaat kecuali shalat maghrib. “Saya bertanya lagi, apa pendapatmu jika kami berada di Dzilmajaj?”. Ia balik bertanya, “apakah Dilmajaz itu?” saya menjawab, “suatu tempat yang kami berkumpul, berdagang, dan tinggal selama dua puluh lima hari atau lima belas malam”. Ibnu Umar berkata, “Hai anak laki-laki, saya pernah tinggal di Ajerbeijan. Saya tidak yakin apakah empat bulan atau dua rakaat”.
Jadi kalau kita lihat dari hadits di atas memang tidak ada ketentuan untuk batas lamanya mengqashar shalat bagi musafir. Dan mungkin inilah yang dimaksud oleh sebagian para ulama sebagai salah satu syarat bahwa shalat qashar masih harus ada dalam bepergian.
Hal yang serupa batas lamanya mengqashar shalat tidak ditentukan itu dapat kita lihat dari hadits Tsumamah Ibnu Syarahir yang diriwayatkan oleh Ahmad, ia berkata: “saya menemui Ibnu Umar, lalu saya bertanya “Apakah shalat musafir itu”? ia menjawab dua rakaat-dua rakaat kecuali shalat maghrib. “Saya bertanya lagi, apa pendapatmu jika kami berada di Dzilmajaj?”. Ia balik bertanya, “apakah Dilmajaz itu?” saya menjawab, “suatu tempat yang kami berkumpul, berdagang, dan tinggal selama dua puluh lima hari atau lima belas malam”. Ibnu Umar berkata, “Hai anak laki-laki, saya pernah tinggal di Ajerbeijan. Saya tidak yakin apakah empat bulan atau dua rakaat”.
Jadi kalau kita lihat dari hadits di atas memang tidak ada ketentuan untuk batas lamanya mengqashar shalat bagi musafir. Dan mungkin inilah yang dimaksud oleh sebagian para ulama sebagai salah satu syarat bahwa shalat qashar masih harus ada dalam bepergian.
c. Shalat yang diqashar itu, shalat adaan (tunai) bukan shalat qadha.
Adapun shalat yang ketinggalan di waktu berjalan boleh diqashar atau
diqadha dalam perjalanan, tetapi yang ketinggalan sewaktu mukim tidak
boleh diqadha dengan qashar sewaktu dalam perjalanan.8
d. Berniat qashar ketika takbiratul ikhram.e. Tidak bermamum sekalipun sebentar kepada orang yang tidak mengqashar shalatnya, sekalipun juga musafir.
*dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment