Diriwayatkan bahwa saat mengandung beliau
usia ibunya 60 tahun. Ada yang menyatakan bahwa pada usia 60 tahun
tidak ada wanita yang bisa hamil lagi. Ibu beliau bernama Fathimah binti
Syekh Abdullah Ash-Shauma’i. Setelah lahir Syekh Abdul Qodir tidak mau
menyusupada saat bulan Ramadhan, sehingga jika masyarakat tidak dapat
melihat hilal penentuan bulan Ramadhan, masyarakat mendatangi ayah Syekh
Abdul Qodir. Jika ayah beliau menjawab “hari ini anakku tidak menyusu
maka orang-orangpun mengerti bahwa bulan Ramadhan telah tiba”.
Abul Hasan An-Nadawi, dalam kitabnya
“Rijalul Fikri wal da’wah wal Islam” (Tokoh-tokoh Intelektual Da’wah dan
Islam) mengisahkan tentang Syeikh Abdul Qadir Al-Jailanisebagai berikut
:
“Majelis beliau (Abdul Qadir) dihadiri
oleh tujuh puluh ribu orang. Di tangannya lebih dari lima ribu orang
Yahudi dan Nasrani masuk Islam, dan lebih dari seratus orang yang sesat
bertaubat. Beliau buka pintu bai’at dan taubat di bawah bimbingannya.
Maka masuklah ke dalam bimbingannya orang-orang yang jumlahnya hanya
diketahui oleh Allah, sehingga keadaan umat semakin membaik dan
keislaman mereka pun semakin mendalam.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Thariqat Qadiriyah
Saat usia 8 tahun, beliau sudah me-ninggalkan kota kelahirannya menuju
Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga
beliau dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, be-liau menghabiskan
waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal
oleh dunia sebagai tokoh besar yang harum namanya dalam dunia Islam.
Sejak itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh
sufi yang mendirikan Tariqhat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain
berasal dari namanya. Tariqhat ini terus berkem-bang dan banyak diminati
oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari
pergerakan Tariqhat ini, namun pengikutnya berasal dari belahan negara
muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga se-bagian
Afrika dan Asia.
Perkembangan Tariqhat ini semakin melesat, terlebih pada abad ke ke 15
M. Di India misalnya, Tariqhat Qadiriyah berkembang luas setelah
Muhammad Ghawsh (1517 M) memimpin Tariqhat ini. Dia juga mengaku sebagai
keturunan dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Di Turki ada Ismail Rumi
(1041 H/1631 M) yang diberi gelar mursyid kedua dari Tariqhat Qadiriyah.
Adapun di Makkah, penyebaran Tariqhat Qodiriyah sudah bermula sejak
1180 H/1669 M.
Berbeda dengan beberapa Tariqhat lainnya, Tariqhat Qadiriyah dikenal
sebagai Tariqhat yang luwes. Dalam pan-dangan shufi, seseorang yang
sudah mencapai derajat mursyid (guru) tidak mesti harus mengikuti
Tariqhat guru di atasnya lagi. Ia memiliki hak untuk memperluas Tariqhat
Qadiriyah dengan membuat Tariqhat baru, asalkan sejalan dengan Tariqhat
Qadiriyah.
Dari sifat keluwesannya ini, Tariqhat Qadiriyah memiliki banyak anak
cabang yang masing-masing memiliki mursyid-nya. Sebut saja seperti
Tariqhat Benawa yang berkembang pada abad ke-19, Tariqhat Ghawtsiyah
(1517), Thariqhat Junaidiyah (1515 M), Thariqhat Kama-liyah (1584 M),
Thariqhat Miyan Khei (1550 M), dan Thariqhat Qumaishiyah (1584), yagn
semuanya berkembang di India. Di Turki terdapat Tariqhat Hin-diyah,
Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, dan Waslatiyyah.
Adapun di Yaman ada Tariqhat Ahda-liyah, Asadiyah, Mushariyyah,
‘Urabiy-yah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di
Afrika terdapat Tariqhat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’aliyya, Manzaliyah
dan Tariqhat Jilala. Thariqat Jilala ini adalah sebuah nama lain yang
dialamatkan oleh masyarakat Maroko kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Adapun di Indonesia, Thariqat Qa-diriyah berkembang pesat yang berasal
dari kawasan Makkah, Arab Saudi. Thariqat Qadiriyah menyebar ke
Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Pulau Jawa. Ada beberapa
pesantren yang menjadi pusat pergerakan Thariqat Qadiriyah ini. Sebut
saja seperti Pesan-tren Suryalaya Tasikmalaya (Jawa Ba-rat), Pesantren
Mranggen (Jawa Tengah), dan Pesantren Tebuireng Jombang (Ja-wa Timur).
Sebagai informasi tambahan, orga-nisasi agama di Indonesia yang tidak
bisa dilepaskan dari Thariqat Qadiriyah adalah Nahdhatul Ulama (NU) yang
berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Ada juga organisasi lain seperti
al-Washliyah dan Thariqat Qadiriyah Naqsa-bandiyah yang merupakan
organisasi resmi di Indonesia.
Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Berikut adalah beberapa kitab yang menjadi karya tulis beliau:
1. Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah.
2. Futuh al-Ghaib
3. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani
Demikianlah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang hidup dengan penuh
pengabdiannya kepada Islam. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib
di daerah Babul Azajwafat, Baghdad, pada tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H /
1166 M. Jenazahnya dimakamkan di madrasahnya sendiri setelah disaksikan
oleh ribuan jama’ah yang tak terhitung jumlahnya.
__________________________________________________________________
Keramat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Pada tulisan kali ini, kita akan sedikit menyimak beberapa kisah yang
dialamatkan (ditujukan) kepada Syaikh Ab-dul Qadir al-Jailani.
Kisah-kisah tersebut banyak tertulis di beberapa kitab dan cukup dikenal
luas oleh kalangan kaum muslimin. Namun dalam hal ini, kita perlu tahu
bahwa banyak dari kisah-kisah tersebut yang fiktif (tidak nyata
kebenarannya).
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Kisah-Kisah Ajaibnya
Diceritakan oleh Muhammad bin al-Khidir bin al-Husaini bahwa ayahnya
berkata,” Jika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan pelajaran
berbagai disiplin ilmu di majlisnya, maka perkataannya tak pernah
terputus. Tidak ada seorangpun yang berani meludah, mendengus, berdehem,
berbicara, maupun maju ke tengah majlis karena kharisma beliau.
Keagungannya membuat orang-orang yang hadir ikut berdiri jika beliau
datang ke dalam majlisnya. Karismanya membuat semua orang hening ketika
beliau memerintahkan mereka untuk diam sampai yang terdengar hanya
hembusan nafas mereka. Tangan orang-orang yang hadir dalam majlisnya
sampai bersentuhan dengan kaki orang lain. Beliau mengenali mereka satu
persatu hanya dengan memegang tanpa harus melihat wajahnya.
Orang yang jauh sekalipun bisa men-dengar ucapan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Bahkan beliau bisa menebak isi hati seseorang dan memberi
nasihat berdasarkan ucapan batin dalam diri-nya.
Diriwayatkan pula bahwa arwah pa-ra nabi berpusar mengelilingi majlis
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani baik di langit maupun di bumi bak angin
yang berpusar di ufuk. Juga malaikat meng-hadiri majlisnya berkelompok
demi kelompok.
Syaikh Abu Madyan bin Syuaib ber-kata, “Ketika aku bertemu dengan
Al-Khidr, aku bertanya tentang para syaikh (wali Allah) dari barat
sampai timur saat ini. Ketika aku bertanya tentang Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani, dia (al-Khidir) berkata, “Beliau adalah imam golongan
as-Shidq, hujjah bagi kaum ‘arif. Dia adalah roh dalam ma’rifah dan
posi-sinya dibandingkan dengan para wali lainya adalah al-Qurbah
(kedekatan).”
Dari Syaikh Muhammad bin Harawi, ia berkata, “Suatu hari ketika Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berbicara di ma-jlisnya, beliau terdiam beberapa
saat kemudian berkata,” Jika aku meng-inginkan Allah swt mengirimkan
burung hijau yang akan mendengarkan perka-taanku maka Ia akan
mengabulkannya’. Sekejap kemudian majlis tersebut dipe-nuhi oleh burung
berwarna hijau yang dapat dilihat oleh semua yang hadir’”.
Masih soal burung, suatu saat ada seekor burung yang melintas di atas
majlis Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian beliau berkata, “Demi
Allah yang disembah, jika aku mengatakan ‘matilah terpotong-potong’
kepada burung itu maka hal itu pasti terjadi”. Se-telah beliau selesai
mengucapkannya, burung tersebut jatuh dalam keadaan mati
terpotong-potong”.
Syaikh Baqa bin Bathu An-Nahri al-Makki berkata,“Ketika Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani berbicara di tangga per-tama kursinya, tiba-tiba
perkataan beliau terputus dan beliau tidak sadarkan diri beberapa saat.
Setelah sadar beliau langsung turun dari kursi dan kemudian kembali
menaiki kursi tersebut dan duduk di tangga kedua. Dan aku menyak-sikan
tangga pertama tersebut mema-njang sepanjang penglihatan dan di-lapisi
sutera hijau. Telah duduklah di sana Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali. Saat itu Allah swt ber-tajalli (merupakan istilah
tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam
bentuk alam yang bersifat terbatas) sehingga membuat beliau miring dan
hampir jatuh jika tidak dipegang oleh Rasulullah saw. Kemudian beliau
tampak semakin menge-cil hingga sebesar burung, kemudian menjadi sangat
besar dan kemudian semakin menjauh dariku”.
Ketika syaikh Baqa’ ditanya tentang penglihatannya kepada Rasulullah saw
dan para sahabatnya, beliau berkata, “Semua itu adalah arwah mereka
yang membentuk. Hanya mereka yang dia-nugerahi kekuatan saja yang dapat
me-lihat mereka dalam bentuk jasad dan segala sifat fisik.”
Sedangkan saat beliau ditanya ten-tang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
yang mengecil dan membesar, Syaikh Baqa’ berkata, “Tajalli pertama tidak
bisa ditahan oleh orang biasa kecuali dengan pertolongan Nabi. Oleh
karena itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani nyaris terjatuh. Sedangkan
Tajalli kedua didasarkan pada sifat ke-Agungan yang berasal dari Yang
Disifati, oleh karena itu beliau mengecil. Sedangkan tajalli ketiga
di-dasari pada sifat ke-Maha Indahan Allah, oleh karena itu beliau
membesar. Semua itu adalah anugerah Allah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan sesungguhnya Allah memiliki anugerah yang a-gung”.
Syaikh Harawi berkata, “Aku mela-yani Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
selama 40 tahun, selama itu beliau se-lalu melaksanakan shalat subuh
dengan wudhu shalat isya’. Jika beliau berha-dats, beliau segera
memperbaharui wudhunya. Dan setelah shalat isya’ beliau masuk seorang
diri ke dalam ruang khalwatnya dan tidak keluar hingga fajar.
Syaikh Ahmad Rifa’i berwasiat ke-pada keponakan-keponakannya, “Jika
kalian tiba di Baghdad, dahulukan me-ngunjungi Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani jika beliau masih hidup. Atau menziarahi kuburnya apabila
beliau sudah meninggal. Karena beliau telah mengambil janji Allah bahwa
semua pemilik kondisi spiritual yang tidak menomor satukan beliau akan
dicabut kondisi spiritual yang di-milikinya. Syaikh Abdul Qadir
benar-benar merupakan kerugian begi mereka yang tidak melihatnya.”
Syaikh Umar al-Bazaar berkata, “Su-atu hari aku duduk di hadapan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dalam khalwatnya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jaga
punggungmu karena akan ada kucing yang jatuh di punggungmu’. Dalam hati
aku berkata, ‘ Dari mana datangnya kucing? Tidak ada lubang di atas
dan…..’ Se-belum selesai bicara, tiba-tiba seekor kucing jatuh ke
punggungku. Kemudian beliau memukulkan tangannya ke dadaku dan aku
mendapati cahaya terbit dari dalam dadaku bak mentari. Dan aku menemukan
al-Haq pada saat itu.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ber-kata, “Ibadah haji pertamaku aku
lakukan pada saat aku masih muda dan sedang melaksanakan Tajrid
(pelepasan). Saat aku tiba di daerah Umm al-Qurn aku bertemu Syaikh Uday
bin Musafir yang juga masih muda. ‘Mau kemada engkau?’ Tanya Syaikh
Uday kepadaku. ‘Makkah Al-Musyarafah’, jawabku. ‘Apa engkau bersama
seseorang?’ tanya Syaikh Uday kembali. ‘Aku sedang melaksanakan tajrid,’
jawabku.
Kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami
berjumpa seorang wanita kurus dari Habsyi (Ethiopia). Dia berhenti di
depanku dan memandangi wajahku lalu kemudian berkata, ‘Anak muda, dari
manakah engkau?’ Aku menjawab, ‘O-rang Ajam (non-Arab) yang tinggal di
Baghdad’. ‘Engkau telah membuatku lelah hari ini,’ sahutnya. ‘Kenapa?’
tanyaku. Kemudian wanita itu pun menjelaskan alasannya, ‘Satu jam yang
lalu aku berada di Habsyi kemudian Allah menunjukkan hatimu kepadaku
sekaligus anugerah-Nya kepadamu yang belum pernah aku saksikan
diberikan-Nya kepada selain dirimu. Hal itu menyebabkan aku ingin
mengenal dirimu. Hari ini aku ingin berjalan bersama kalian melewatkan
malam bersama kalian’.
Lantas akupun berkata, ‘Itu merupakan kehormatan buat kami’. Setelah itu
dia mengikuti kami berjalan di sisi lain wadi (aliran sungai gurun)
tersebut. Ketika tiba waktu maghrib dan saat makan malam tiba, sebuah
nampan turun dari langit yang berisi 6 potong roti beserta lauk pauknya.
‘Subhanallah segala puji dan syukur bagi Allah yang telah memuliakan
aku dan tamuku’, ungkap perempuan tersebut.
Malam itu, setiap dari kami memakan dua potong roti. Selesai makan,
datanglah tempat air dan kami meminum air yang kesegaran dan rasanya
tidak ada di dunia ini. Setelah itu, perempuan itupun pergi meninggalkan
kami.
Kisah selanjutnya adalah, ada seorang kafilah yang kehilangan 4 untanya
di hutan. Kemudian ia teringat akan pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bahwa jika dirinya mendapat kesulitan, maka diperintahkan untuk menyebut
nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian kafilah itu menyebut nama
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tiba-tiba, ada seorang berjubah putih di
atas bukit dengan melambaikan tangan. Kafilah tersebut menuju sosok yang
dimak-sud. Namun setelah sampai di atas bu-kit, sosok tersebut hilang
dan malah ia menemukan ke 4 unta yang sedang dicarinya.
Demikianlah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani beserta kisah-kisah hidup, ilmu, dan karamah yang ditujukan kepadanya.
Dari sumber lain
Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan
tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini
pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang
diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih
dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran
spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya,
Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang
dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat
al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang
Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini
disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.
NASAB
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada
bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama
Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu
pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a.,
puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah
Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali
dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin
sekaligus Huseiniyin.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar
lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika
berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk
bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu
merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang
Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah
dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi
ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini,
telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an
bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada
peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke
Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang
sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan
pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal.
Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk
menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya
berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji
untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah
segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak
memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin.
Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang
atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir
segera menjawab: “Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang
dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja para perampok
terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan
jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah
delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala
perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan
ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka
akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di
kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan.
Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya.
Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak
benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat
kritis, tak mungkin baginya.
BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia
terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat
menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli
hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih
dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala
tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski
harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai
orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka.
Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang
penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat
Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya
sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini
menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai
mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan
tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat
sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa
berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur’an dalam satu
malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan
manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila
ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia
tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan
dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir
masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang
dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan
dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua
tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah
tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara
perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya
ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan
duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi
raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai
pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa
perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh
berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan
musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan,
harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban
beliau: “Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah
diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia,
menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka
kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian
menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan
duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh
Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis
menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia
membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di
langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis,
karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi
Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: “Baiklah
Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.”
“Enyahlah!, bentak sang wali.” Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku,
tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu”.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba
belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan
menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan
dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: “Akulah
Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Sang Syaikh berucap:
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Sosok
itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata:
“Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku.”
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya.
Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang
haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan
dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara
perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan
ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan
terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah
berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak
menjadi pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur
kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari
ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin
menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam
pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan
upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia
melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di
Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi
jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk
membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan
tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang
Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ”
Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah
menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.”
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan
menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan,
menamainya Muhyiddin, ‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian
dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia
tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum.
Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan
meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan
kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima
puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia
menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu
beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan
mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan
taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh
putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan
mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia
juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan
masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara,
dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar.
Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang
baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits.
Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa
kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad,
sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh
Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali,
diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke
tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti
disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz,
dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat
terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam
seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari,
ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata
pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah
hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari,
sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin.
Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa
sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh
makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama.
Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di
kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah
kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai
pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk
mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk
mengabdi Penciptanya.
Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat
Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan,
bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin
ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan,
sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang
dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang
bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang
memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa
tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq
merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental
al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik
tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat
dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan
membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa,
keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga
anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak
yang baik.
2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani
merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang
pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua
pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3
Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H.
Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan
format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan
berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78
artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang
lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani.
Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya
hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung
pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul
Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh
Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang
bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata,
“Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan
beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa
kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang
bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan
mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir.
Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia
sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf
al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh
Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti,
7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad
ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi
yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir
Jailani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang
tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di
Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam
kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau
memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak
takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya
tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di
saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah
terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja
jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga
membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir,
lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya.
Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau
tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir
Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat
yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan
ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al
Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga
mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan
perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya,
ia berpegang pada sunnah. “
Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang
riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh
Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang
tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama.
Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat
pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak
90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar,
dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan
berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza
wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu
percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah!
Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan
Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah
khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita,
keluarga dan anak turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas
terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira
maupun ancaman.